Entri Populer

Total Tayangan Halaman

Entri Populer

Laman

Cari Blog Ini

Powered By Blogger

Senin, 08 Juni 2020

Minggu, 30 Mei 2010

Membangun Pariwisata Jogja

Harian Jogja, 29 Mei 2010


Jogja adalah kota yang sangat menarik. Banyak predikat melekat pada kota yang satu ini. jogja sebagai Kota Perjuangan, Kota Budaya, Kota Pendidikan dan juga Kota Wisata. Orang yang tinggal di kota ini berasal dari beragam bangsa,baik Warga Negara Indonesia (WNI) maupun Warga Negara Asing (WNA). Mereka menuntut ilmu ataupun bekerja di sini.

Masyarakat juga terdiri atas berbagai macam suku, agama, ras dan golongan. Uniknya di tengah segala macam perbedaan tersebut, warga Jogja tetap bisa hidup guyup rukun, berdampingan dan damai. Bahkan jarang sekali atau lebih tepatnya tidak pernah terjadi gejolak yang cukup berarti. Hal ini membuat orang merasa nyaman dan betah bermukim di Kota Gudeg.

Sebagai Kota Wisata, pemerintah daerah telah banyak berupaya untuk menarik banyak wisatawan. Baik wisatawan manca negara (wisman) maupun wisatawan nusantara (wisnu). Berbagai macam perhelatan dengan tujuan promosi juga acapkali digelar. tapi hal seperti ini bukan satu satunya cara meningkatkan animo kunjungan wisatawan.

Ada banyak hal di sektor wisata yang perlu diperbaiki. Menurut hemat penulis, perlu penanganan yang lebih komprehensif menyangkut perbaikan sarana dan prasarana. Dan yang terpenting ialah pembenahan sikap pelaku bisnis pariwisata itu sendiri. Sehingga suasana aman dan nyaman yang sangat didambakan oleh para wisatawan benar-benar bisa diwujudkan.

Kota Pasar

Kalau kita perhatikan, banyak sekali bermunculan pedagang di Kota Jogja. Mereka kita temui di setiap sudut. Mulai dari makanan/minuman, cinderamata dan berbagai barang kerajinan khas Kota Jogja

Keberadaan mereka memang tidak bisa disalahkan, karena mereka memang memanfaatkan peluang untuk mencari nafkah. Yakni dengan menawarkan barang dagangannya kepada wisatawan yang sedang berkunjung.

Ironisnya, semakin hari gejala ini semakin tidak teratur. Ibarat pepatah, "Ada gula ada semut", mereka menjajakan atau menggelar barang dagangannya di sembarang tempat. Di halaman hotel, tempat parkir bis pariwisata, di trotoar dan tempat lain di mana ada banyak wisatawan berkumpul. Itu menjadikan suasana Jogja kian semrawut. Singkat kata seperti kota pasar saja,karena di mana-mana dijumpai orang berjualan.

Pada setiap musim liburan, alun-alun Utara di depan Keraton dipenuhi pedagang. Hal ini tentunya sangat mengganggu dan merusak pemandangan kemegahan Keraton yang ingin dinikmati wisatawan. Alangkah baiknya kalau pemerintah daerah mulai memperhatikan dan menertibkan para pedagang tersebut. Tentu harus dengan cara yang bijaksana dan santun, sehingga dampaknya tidak kontraproduktif terhadap masayarakat, khususnya para pedagang.

Tatkala berkeliling menikmati suasana Kota Jogja, ada banyak pilihan alat transportasi. Selain tersedia bus,taksi, ada juga andong dan becak. Bahkan andai ingin mengelilingi kota sendirian bisa juga dengan menyewa sepeda motor atau sepeda onthel. Di antara beberapa jenis alat transportasi di atas, becak masih menjadi pilihan utama, karena disamping murah juga bisa menjangkau tempat-tempat yang tidak tersentuh oleh alat transportasi lain.

Sayangnya, belakangan ini banyak tukang becak yang bersikap kurang simpatik dalam memberikan pelayanan kepada wisatawan. Baik terhadap wisatawan domestik maupun wisatawan asing. Mereka hanya mengejar keuntungan pribadi, tanpa memperhatikan aturan main dan norma yang tepat bagi seorang penjual jasa.

Kini saatnya pemerintah daerah bekerjasama dengan Dinas Pariwisata turun tangan memberikan pengertian kepada para tukang becak. Perihal bagaimana sebaiknya bekerja secara bertanggungjawab. Dengan dilandasi semangat pelayanan kepada para wisatawan yang sedang berkunjung. Bukankah dalam tradisi kejawen, tamu dianggap sebagai seorang raja.

Konkretnya, pemerintah daerah bisa mengumpulkan para tukang becak untuk diberi pengarahan menjadi pemandu yang baik. Tak kalah penting ialah pelatihan bahasa asing, karena Jogja adalah daerah tujuan wisata kedua setelah Bali, sehingga banyak dikunjungi wisatawan manca negara.

Pertemuan para tukang becak dengan pemerintah daerah dan Dinas Pariwisata sebaiknya diadakan secara rutin. Tentu tidak bisa semua tukang becak dikumpulkan bersama dalam satu waktu. Perwakilan dari paguyuban becak yang ada bisa datang ke pertemuan secara bergiliran. Sehingga semuanya menjadi paham tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh para tukang becak saat melayani wisatawan.

Malioboro kini

Tempat yang tidak pernah dilewatkan oleh pelancong ialah Malioboro.Para wisatawan merasa belum ke Jogja kalau belum mengunjungi Malioboro. Jalan Malioboro dari dulu sampai sekarang merupakan jalan yang tidaak pernah tidur. Mulai dari pagi sampai pukul 21.00 WIB, pusat pertokoan dan pedagang kaki lima (PKL) membuka usaha berjualan barang. Baik barang yang lazim dijual di pusat perbelanjaan maupun souvenir khas Jogja.

Setelah pukul 21.00 WIB, mereka menutup tempat usaha tersebut dan kehidupan malampun menggantikannya. Sepanjang Jalan Malioboro, tepatnya di trotoar depan pertokoan, para pedagang makanan mulai membuka usaha berjualan makanan. Di sebelah kanan dan kiri Jalan Malioboro dipenuhi pedagang lesehan.

Para pengamenpun mulai beraksi memberikan hiburan bagi orang yang sedang menikmati makanan dengan duduk santai di tikar. Tidak selamanya kehadiran para pengamen tersebut menjadi hiburan, bahkan seringkali malah membuat suasana menjadi kurang nyaman.

Kelompok pengamen yang dulu piawai memberikan hiburan dengan memainkan musik dan melantunkan beberapa lagu kini kian langka. Mereka memilih menjadi pengisi acara di sejumlah kafe dan restoran. Yang ada sekarang ialah pengamen perorangan, dan karena perorangan makanya sebentar-bentar ada saja yang datang mengamen.

Pada saat menunggu pesanan makanan, tidak jarang sudah puluhan pengamen yang datang denagn alat musik sederhana. Hal ini tentunya sangat mengganggu orang yang mau menikmati suasana malam. Para pengamen perlu bersatu membentuk kelompok-kelompok pengamen, sehingga lebih bisa menimbulkan suasana yang mengasyikkan bagi pengunjung yang menikmati makan malam di lesehan Malioboro.

Selain itu juga masalah harga. Meskipun di sana sudah banyak terpajang papan peringatan agar wisatawan minta daftar menu dan harga, tapi masih juga ada pedagang makanan nakal 'memukul' dengan harga tarif tinggi. Selama ini belum pernah ada wisatawan yang melaporkan kejadian ini. kalau dibiarkan terus menerus justru bisa membuat orang enggan makan di Malioboro, sehingga pada akhirnya merugikan para pedagang makanan itu sendiri.

Akhir kata, dalam pengembangan Jogja sebagai Kota Wisata diperlukan peran serta dari semua pihak. Baik pemerintah daerah, Dinas Pariwisata, pelaku bisnis pariwisata, dan masyarakat. Keterlibatan dan kerjasama semua orang yang mencintai Ngayogyakarta Hadiningrat niscaya bisa mendongkrak jumlah wisatawan yang berkunjung ke sini, sehingga otomatis meningkatkan pula pendapatan dan kesejahteraan warga...

Senin, 22 Maret 2010

RUANG HIDUP UNTUK BECAK YOGYAKARTA

WACANA LOKAL SUARA MERDEKA
SELASA, 23 MARET 2010



Ruang Hidup Becak Yogyakarta
Oleh Harry van Yogya

SEBUAH impian yang ada dalam kepala tukang becak di Yogyakarta adalah tersedianya ruang bagi mereka. Becak yang sudah menjadi ikon kota budaya ini seyogianya memiliki beberapa ruas jalan khusus yang ditandai misalnya dengan papan bertuliskan, ''Becak/Bike/Andong Only''.

Menjadi impian karena kenyataannya ruas jalan yang memang diperuntukan bagi becak, sepeda, andong, dan kendaraan tak bermotor lainnya justru terganggu oleh hal lain. Banyak pedagang kaki lima (PKL) dengan seenaknya memarkir sepeda motor dan gerobak barang dagangannya di tepi ruas jalan itu.
Penanganan masalah yang satu ini selalu dirasa lambat dan juga kelihatan tidak tegas. Operasi penertiban yang dilakukan oleh personel Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sering kali tercium oleh para pedagang.
Atau, biasanya PKL yang ada di ujung Jalan Malioboro, tepatnya di depan Hotel Garuda akan memberi tahu teman sesama pedagang yang ada di bawahnya atau bagian selatan bila akan ada operasi penertiban. Pasalnya, penertiban biasa dilakukan dari depan Hotel Garuda menyusur ke selatan ke arah Pasar Beringharjo.
Tentu saja para pedagang kaki lima ini akan menyingkirkan gerobak pengangkut barang dagangannya pergi dan memindah motor yang tadinya mereka parkir di tepi jalan dekat mereka berjualan.
Tersitanya sebagian ruas jalan itu tentunya sangat mengganggu tukang becak dalam memarkir becaknya untuk mencari atau menunggu penumpang. Ruas jalan yang diperuntukan bagi kendaraan tidak bermotor ini semakin semrawut karena selain banyak gerobak dan motor pedagang kaki lima yang diparkir di ruas jalan itu, banyak pejalan kaki menggunakan ruas jalan tersebut.
Gambaran Jalan Malioboro yang bebas dari kendaraan bermotor serta nyaman buat wisatawan, baik wisatawan nusantara (wisnu) maupun wisatawan mancanegara (wisman) hanya menjadi cerita lama yang sekarang mulai hilang.
Bahasa Asing


Penanganan transportasi becak di kota budaya Yogyakarta sebenarnya sudah dianggap lebih baik dari kota-kota lainnya. Selain kaya akan kunjungan turis, baik domestik maupun mancanegara, saat ini pun akan ada pendataan kendaraan dan tentu saja ke depan ada penertiban dan pajak.
Secara pribadi saya dan teman-teman tukang becak menyambut baik hal ini. Mengingat keterlibatan pemerintah daerah yang selalu akomodatif dengan keberadaan becak, perlu pula ditingkatkan sumber daya tukang becaknya sendiri. Beberapa pelatihan bahasa asing pernah dilakukan, meskipun tidak terjadwal rutin.
Para tukang becak sendiri pada dasarnya adalah sumber daya yang layak dilibatkan kerja samanya. Secara psikologis,''ruang'' dimaksud tentu saja merupakan ruang bersama, yang akan menjalin sebuah mutualisme. Pemda di satu sisi dan pemberdayaan ekonomi di sisi lain.
''Ruang'' ini juga yang akan menjadikan tukang becak belajar secara tersistem. Artinya, kesadaran akan belajar untuk saling menghargai keberadaan turis, dan belajar mengakses sistem yang dibuat pemerintah. Simbiose ini seharusnya menghasilkan sebuah suasana di mana sarana dan prasarana terus dibenahi oleh pemerintah.
Secara fisik becak-becak pun perlu dipercantik dengan instrumen artistik khas Jogja (sebutan lain kota Yogyakarta untuk lebih mendekatkan dengan ''lidah'' dan ''telinga'' wisman). Turis adalah sebuah aset ekonomi bagi mereka. Dengan menghargai dan memberikan pelayanan yang baik, tukang becak akan lebih berdaya secara finansial.
Dalam hal ini pendapatan utama, tukang becak lebih berharap pada keberadaan turis, atau orang luar Jogja. Pengguna transportasi rakyat ini memang telah bergeser, penduduk lokal sudah tidak lagi menjadikan becak sebagai angkutan utama, mereka telah menggunakan transportasi bermotor, yang notabene menjamur dan mudah didapatkan.
Saya yakin pemerintah kota mampu mengakses ''ruang'' untuk itu. Tentu saja dengan pendekatan yang lebih santun dan niat baik bersama. Pemberdayaan ini tentu saja akan menghasilkan input

yang berharga dalam rangka peningkatan pariwisata.
Semoga ada nuansa kebangkitan dari sebuah profesi yang selama ini dianggap rendah. Semoga pula punya nilai budaya baru, di mana kepeloporan transportasi rakyat mampu memberdayakan dan menghasilkan sesuatu yang saling menguntungkan. (Harry van Yogya

, tukang becak di Yogyakarta, yang senang mencari pelanggan lewat

facebook: Harry van Yogya atau email

: harry_blas@yahoo.com)
============================================

Sabtu, 20 Maret 2010

JEJARING SOSIAL DI MATA SEORANG TUKANG BECAK

KOMPAS, Senin 8 Februari 2010


Mungkin bukan sebuah pilihan yang membanggakan bagi sebagian besar masyarakat kita. Namun, keputusan menjadi tukang becak adalah yang paling mungkin bagi saya waktu itu, selain cepat bisa memberikan hasil, pekerjaan itu tidak perlu syarat macam-macam seperti halnya mencari pekerjaan yang lain.

Apalagi dengan hanya berbekal ijazah SMA dan tidak punya bekal keterampilan apa-apa akan sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan dengan cepat. Selain itu, sebelum tahun 1990-an di kota Yogyakarta profesi tukang becak masih cukup lumayan menghasilkan uang untuk membantu menghidupi keluarga.

Dalam perjalanan waktu saya merasa ingin lebih dari sekadar tukang becak dan mengikuti saran seorang teman, saya mulai melirik untuk mengangkut para turis yang banyak berkunjung ke Kota Gudeg itu. Bekal bahasa Inggris dari sekolah SMA sudah cukup mampu untuk berkomunikasi dengan para turis asing dan ini yang membedakan tukang becak lulusan SMA dengan mereka yang tidak makan sekolahan.

Satu kelebihan lainnya adalah bekal memahami kemajuan zaman. Sekalipun hanya seorang tukang becak, saya mulai tertarik dengan bidang komputer. Saya mulai menggandrungi dunia internet pada tahun 1994, ini juga berkat dorongan seorang langganan saya dari Amerika yang sering berkunjung ke Yogya.

Bule itu meminta saya untuk membuat alamat e-mail agar memudahkan komunikasi dan dia mengajak saya ke warnet untuk membuat account e-mail. Sejak saat itu saya rajin ke warnet di kala senggang untuk belajar ngenet, saya mencoba mengakses apa saja, mulai dari membuka situs porno, main catur, sampai mencari kawan.

Berikutnya mulai meningkatkan dengan ikut melakukan chatting di mIRC dan Yahoo Messenger. Dari situ saya mulai mendapatkan banyak teman, baik di Indonesia maupun dari luar negeri, dan rata-rata mereka menganggap bercanda apabila saya mengatakan profesi saya adalah becak driver.

Dari teman-teman itulah saya mulai mengenal jejaring sosial, entah sudah berapa banyak yang saya ikuti, bahkan account dan password hanya beberapa yang masih saya ingat. Beberapa jejaring sosial yang masih saya ikuti sekarang antara lain Friendster, Flixster, Hi5, Tagged, Twitter, dan Facebook.

Jejaring sosial

Semula Friendster bagi saya merupakan pelengkap dari chatting karena di situ ditampilkan profil dan foto-foto. Pada setiap chatting kami berbagi Friendster dengan kenalan baru sehingga ada sekitar 432 orang di situ. Namun, lama-kelamaan membosankan juga setelah muncul yang aneh-aneh dan account palsu sekadar untuk ngerjain orang lain.

Pelopor

Friendster dianggap sebagai pelopor jejaring sosial yang muncul pada tahun 2002 dan mencapai puncaknya dua tahun kemudian, baru meredup setelah muncul Facebook. Orang akan merasa ketinggalan zaman kalau waktu itu tidak ikutan Friendster, tetapi meredup setelah muncul banyak account palsu, mudah dibobol, dan fiturnya sangat terbatas yang lebih terfokus pada buletin.

Sampai akhirnya muncul jejaring sosial yang baru dan ngetren sejak Barack Obama terpilih sebagai Presiden AS. Dia menggunakan jejaring yang baru itu untuk mendapatkan dukungan dan saya juga ikutan bergabung dengan Facebook. Dan ternyata Facebook lebih oke dan menarik.

Saya mulai bergabung dengan jejaring sosial itu sejak 2008 dan sekarang teman saya di Facebook sudah ada sekitar 888 orang dari seluruh dunia. Saya dengan mudah menemukan teman-teman sekolah saya dulu di situ dan yang penting saya bisa menawarkan jasa saya sebagai tukang becak serta merintis Independent Tour bersama teman-teman di Yogya.

Bahkan saya juga sudah membentuk dua grup di Facebook, yaitu Becak Jogja dan Bellongg Independent Tour. Dari situ sekarang mulai menampakkan hasil, ada banyak teman-teman dari Facebook yang menghubungi saya ketika berkunjung ke Yogya, termasuk merekomendasikan teman-teman lainnya untuk menggunakan jasa saya atau sekadar menanyakan informasi tentang Yogya. Semua itu saya layani dengan sebaik-baiknya.

Bagaimanapun Facebook memiliki fitur yang lebih lengkap, bisa menawarkan jasa atau barang, bisa membentengi dari account palsu dan spam. Aplikasi juga lebih banyak, mulai dari game, kuis setia apa tidak, bisa update setiap saat, ada event yang bisa ditawarkan ke orang lain, seperti party, launching product, sampai pencarian teman yang lebih efisien.

Namun, bukan berarti Facebook tidak punya kelemahan. Bagi yang belum terbiasa akan bingung dihadapkan pada aplikasi yang banyak itu, juga sering sebal karena diajak teman untuk mengikutinya.

Selain itu, menurut studi WatchMouse, sebuah lembaga pengamat situs terhadap 104 situs jejaring sosial yang ada di dunia ini, Facebook dinilai merupakan situs yang paling lelet. Mungkin ini karena terlalu banyak aplikasi, selain penggunanya yang terlalu banyak.

Menurut situs analisadaily.com, jumlah pengguna Facebook di Indonesia per Maret 2009 tercatat sekitar 1,4 juta orang. Ini merupakan terbanyak di Asia dan terbanyak kelima di dunia.

Dalam ber-Facebook ria, selain menggunakan komputer desktop dan laptop, serta iPod, sekarang juga bisa menggunakan ponsel. Ponsel sekarang banyak menyediakan layanan atau menu Facebook. Bahkan ponsel jadul pun bisa digunakan untuk Facebook via SMS, paling tidak ada tiga operator seluler sekarang yang melayani Facebook via SMS, yaitu 3, Telkomsel, dan Axis.

Namun, Facebook SMS punya kelemahan, yaitu interface tidak userfriendly, tidak ada notifikasi lanjutan setelah kita memberikan komentar pada status teman. Sehingga tidak bisa mengikuti perkembangan komentar. Selain tentu juga lelah mengetik di papan keypad yang kecil, apalagi kalau temannya banyak.

(Blasius Haryadi Tukang Becak di Yogyakarta)